Dibuat Tanggal 10-03-2021
Keunikan Shalat Berjamaah
Sesungguhnya shalat adalah ibadah yang istimewa sekaligus unik. Satu keistimewaan yang menunjukkan pentingnya shalat adalah terletak pada cara penyampaiannya. Jika ibadah wajib zakat, puasa dan haji disampaikan Allah SWT melalui malaikat Jibril as, maka berbeda dengan perintah shalat. Shalat merupakan satu-satunya perintah agama yang diberikan Allah SWT secara langsung tanpa perantara. Untuk menerimanya, Rasulullah SAW melakukan perjalanan spritual dahsyat yang dikenal dengan peristiwa Isra Mikraj.
Dikatakan unik karena kewajiban shalat tidak memandang strata sosial, kondisi fisik ataupun situasi seseorang. Wajibnya shalat menyeluruh pada semua muslim laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak, kaya atau miskin, mukim atau musafir, sehat ataupun sakit, aman atau bahkan sedang perang sekalipun. Berbeda dengan kewajiban ibadah lain yang memiliki udzur syar’i, misalnya puasa, bagi mereka yang sakit, bepergian (musafir), hamil atau menyusui, usia sangat tua, atau pekerja berat, maka boleh tidak berpuasa. Meskipun mereka harus mengganti di hari lain (puasa qadha) atau dengan membayar fidyah. Begitu juga halnya dengan zakat dan haji. Tidak diwajibkan bagi mereka yang tidak mampu atau kondisi yang tidak memungkinkan.
Jika puasa diwajibkan hanya sebulan dalam setahun dan kewajiban haji sekali seumur hidup, maka kewajiban shalat adalah setiap hari bahkan lima kali sehari semalam yang mesti dilakukan dengan posisi berdiri. Jika tidak mampu berdiri dapat dilakukan dengan duduk. Apabila tidak dapat dilakukan dengan duduk, diperbolehkan sambil berbaring dan seterusnya. Bahkan orang yang telah meninggal sekalipun tetap wajib shalat untuk yang terakhir kalinya yakni dengan dishalatkan dalam proses penyelenggaraan fardhu kifayah.
Adalah menarik untuk dicermati ketika keadaan seseorang yang dishalatkan. Jika kita yang masih hidup sebagai makmum, kita shalat di belakang imam. Lain halnya jika kita sudah menjadi jenazah, kita akan dishalatkan tepat di depan imam. Poin pentingnya adalah kewajiban shalat mesti ditegakkan secara berjamaah. Orang yang sudah mati sekalipun tetap mesti shalat berjamaah walaupun dengan dishalatkan.
Rasulullah SAW semasa hidupnya tak pernah sekalipun shalat fardhu sendirian. Karena itu hukum shalat fardhu berjamaah bagi laki-laki adalah fardhu ain menurut pendapat terkuat. Walaupun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah fardhu kifayah dan ada juga yang menyebut hukumnya sunnah.
Allah SWT tetap perintahkan shalat berjamaah walaupun saat perang berkecamuk adalah dalil wajib hukumnya shalat berjamaah bagi laki-laki. Apatah lagi dalam keadaan aman tentu lebih wajib lagi. Allah SWT berfirman, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.” (An-Nisa : 102).
Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha
menjelaskan, “Ini merupakan dalil bahwa shalat jamaah hukumnya adalah fardhu ain karena dalam ayat ini Allah tidak menggugurkan perintah-NYA pada pasukan kedua setelah dilakukan oleh kelompok pertama. Dan seandainya shalat jamaah itu sunnah, maka shalat ini tentu gugur karena ada udzur yaitu dalam keadaan takut. Seandainya pula shalat jamaah itu fardhu kifayah maka sudah cukup dilakukan oleh kelompok pertama tadi. Maka dalam ayat ini, tegaslah bahwa shalat jamaah hukumnya adalah fardhu ain dilihat dari tiga sisi ; Allah memerintahkan kepada kelompok pertama, selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok kedua, dan tidak diberi keringanan untuk meninggalkannya meskipun dalam keadaan takut.”
Rasulullah SAW dalam beberapa sabdanya sangat tegas memperingatkan umatnya, jangan sampai meninggalkan shalat berjamaah. Saking kerasnya peringatan beliau sampai-sampai Rasul ingin membakar rumah orang yang tidak ikut shalat berjamaah. “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-NYA, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti shalat jamaah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari Muslim).
Di hadis lain bahkan orang buta tetap wajib shalat berjamaah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjamaah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab, “Ya”. Rasulullah bersabda, “Penuhilah seruan (adzan) itu.” Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi SAW bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut.”
Tidak mengherankan jika generasi emas umat ini, yakni para Shahabat yang teguh istiqamah menegakkan shalat berjamaah. Kegelisahan dan kesedihan mendalam apabila mereka tertinggal ataupun terlambat dalam barisan shalat berjamaah. Seketika mereka bermu’aqobah (menghukum) diri mereka sendiri. Lihatlah Umar bin Khattab ra, ketika beliau tertinggal shalat Ashar berjamaah karena sibuk mengurusi kebun kurmanya yang hampir panen, ia sangat menyesal dan langsung menjumpai Rasulullah SAW menyampaikan semua kejadian tersebut. Lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, kebunku ini telah menyebabkan saya lalai dalam shalat. Oleh karena itu saya sedekahkan kebun ini fi sabilillah. Gunakanlah sekehendakmu.”
Mereka mendengar langsung apa yang diucapkan Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Barangsiapa mendengar seruan muadzin dan tak ada udzur yang menghalanginya. Shahabat bertanya, Apakah udzur itu? Rasulullah SAW menjawab, rasa takut dan sakit, maka shalat yang ia kerjakan tidak diterima.” (HR. Abu Dawud).
Meskipun Islam memberikan rukhshah (keringanan) untuk tidak menghadiri shalat fardhu berjamaah bagi laki-laki sebab sakit, kondisi sulit ataupun hujan lebat, namun bukan berarti para Shahabat ra tidak berjuang untuk mendatanginya. Kendatipun dalam keadaan sakit dan sulit, mereka tetap menghadiri masjid untuk shalat berjamaah. Mereka paham benar apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW, “Shalat berjamaah itu lebih utama dua puluh derajat dari pada shalat sendirian.” Rabi’ bin Khaitsam, seorang ahli ibadah dari kalangan Tabi’in, dalam keadaan sakit, ia dipapah oleh dua orang untuk shalat berjamaah di masjid. Lalu disampaikan kepadanya, bukankah engkau diberikan kemudahan untuk tidak mendatangi shalat berjamaah? Ia menjawab, “Ya benar, akan tetapi aku mendengar suara muadzin yang mengumandangkan, “Hayya ‘alas sholah”, ia melanjutkan, “ Maka siapa yang mendengarnya hendaklah ia mendatanginya walau dengan merangkak.”
Semoga pemahaman kita terkait keunikan dan pentingnya shalat berjamaah sebagaimana pemahaman para Shahabat dan para Salafussalih, meningkatkan kadar kemauan kita untuk bermujahadah menegakkannya. Sehingga ungkapan “Shalatlah engkau sebelum engkau dishalatkan” berubah menjadi lebih baik lagi yakni dengan ungkapan “ Shalatlah engkau di belakang imam sebelum engkau shalat di depan imam.” Allahua’lam bishshawab.
Alexander Zulkarnaen
Guru PAI SMAN 2 Medan
Ketua Deputi Humas IKADI SUMUT